Industrialisasi dipandang sebagai langkah tepat dalam
menjawab potret sejarah kemiskinan dunia sehingga mempermudah pekerjaan. Lebih
jauhnya lagi, memberikan masyarakat harapan hidup yang lebih panjang. Walaupun
pada awalnya mengurbankan orang sehingga muncul kesenjangan sosial serta
menghasilkan kerusakan lingkungan, namun pada akhirnya industrialisasi
mendatangkan kekayaan serta kenyamanan hidup dengan dikelilingi peralatan yang
mudah dipakai.
Revolusi Industri I dimulai dari ditemukannya Mesin
Uap oleh James Watt pada tahun 1764. Temuan ini berdampak baik yang pada
awalnya memakai bantuan hewan dan hanya menggunakan alat seadanya telah beralih
menggunakan mesin uap sehingga barang yang di produksi dapat cepat selesai
dengan jumlah yang melimpah dan harga murah tentunya. Revolusi Industri I
membawa peralihan dari perekonomian pertanian menjadi perekonomian berbasis
industri. Hal ini menandai dimulainya era Mekanisasi.
Revolusi Industri
II
Revolusi Industri 2.0 diawali dari hasil penelitian
yang dilakukan oleh Faraday &
Maxwell yang menghubungkan kekuatan antara sistem magnetik dengan sistem
elektrik yang menggerakan mesin proses produksi serta ditemukannya ban berjalan
yang digunakan dalam proses perakitan di berbagai indutri, sehingga
menghasilkan produk dalam jumlah besar. Lahirlah Era Elektrik.
Revolusi Industri
III
Dimulai dari temuan internet dan komputer yang
mempengaruhi pola komunikasi dan peredaran informasi di masyrakat. Juga temuan
robot yang menggantikan tenaga kerja manusia dalam proses perakitan namun masih
dikontrol oleh Human Operators. Dengan demikian, bergeser ke era Otomatisasi.
Revolusi Industri IV
Sehubungan dengan keunggulannya Xing dan Marwala (2016)
mengemukakan bahwa revolusi industri 4 mengintegrasikan ratai nilai vertikal
dan horisontal dengan menghubungkan secara digital semua unit produktif dalam
perekonomian. Sekertaris Direktorat Jenderal Industri Logam, Mesin, Alat
Transportasi dan Elektronika dari Kementerian Perindustrian pada saat
meresmikan Pameran Manufacturing Indonesia 2017 menyampaikan bahwa yang
terutama bagi Indonesia saat ini adalah keharusan untuk mengembangkan dan
membangun sektor Industri Permesinan yang merupakan pendukung dari seluruh
proses produksi pada industri lainnya khususnya pada sektor Industri
Manufaktur.
Berbagai penelitian dilakukan untuk
mengetahui bagaimana efek dari pemanfaatan teknologi terhadap kinerja
perusahaan. Kariuki (2005) memperoleh temuan bahwa e-banking memberikan dampak
positif baik terhadap profitabilitas karena adanya peningkatan pangsa pasar
akibat costumized products, juga terhadap pelayanan yang lebih baik terhadap
permintaan klien. Namun, dampaknya juga terjadi pada turnover tenaga kerja.
Revolusi industri yang diawali
dengan keberhasilan menemukan teknologi yang mempermudah kehidupan manusia, di
kemudian hari menimbulkan permasalahan yang meresahkan. Keresahan tersebut
bersumber dari dampak yang ditimbulkannya dalam masyarakat, yaitu hilangnya
beberapa jenis pekerjaan tertentu, walaupun dari kemampuan memprediksi dan dari
pengalaman sebelumnya, diantisipasi akan memunculkan jenis-jenis pekerjaan
baru. Namun, ditengarai bahwa era digitalisasi sebagai hasil dari perubahan teknologi revolusi industri 4.0, dibandingkan
revolusi industri sebelumnya akan ada yang lebih banyak lagi
perkerjaan-pekerjaan yang hilang karena digantikan oleh robot dengan kemampuan berpikir seperti manusia.
Big Data dan
Artifical Intelegent
Komputer telah lama berada di
masyarakat, namun tidak menangkap perilaku penggunanya. Berbeda saat smartphone
digunakan, prilaku konsumen dapat dikumpulkan dalam Big Data sebagai hasil
perekaman aktifitas pergerakan melalui GPS.
Big
Data merekam semua data serta kegiatan yang pernah dilakukan untuk kemudian
memprediksi apa yang mungkin terjadi di masa mendatang. Big data memiliki
jelajah yang melampaui jaringan media sosial karena mempengaruhi hampir setiap
afspek kehidupan modern. Marr (2017:8) mengungkapkan bahwa ada tiga area utama
dalam bisnis yang sangat membutuhkan akses terhadap big data, yaitu improving
decision making, improving operations dan monetizing of data.
Sehubungan
dengan big data perilaku pelanggan, dimulai dari pengumpulan data pelanggan,
kemudian dilakukan pengolahan data, dan selanjutnya dianalisa. Hasil analisa
data yang diperoleh dari big data dapat digunakan dalam membaca perilaku
pelanggan, menangkap perubahan perilaku pelanggan dan yang terpenting adalah
memprediksi kebutuhan pelanggan, baik kebutuhan yang sudah ada maupun
kecenderung kebutuhan yang akan muncul di masa mendatang.
Para
ahli menyatakan bahwa saat ini ‘dunia’ berada pada revolusi industri 3.
Kehadiran Teknologi Komunikasi dan Informasi masih membawa misi mempermudah
kehidupan manusia. Revolusi Teknologi sudah jauh memasuki kehidupan manusia
yang membawa pada perubahan dalam tatanan sosial. Ketika otomatisasi dalam
industri permesinan mempengaruhi sektor industri lainnya, ada industri tertentu
yang diatur oleh pemerintah yang tidak serta merta menggunakan mesin
otomatisasi tersebut mengingat dampaknya yang sangat signfikan terhadap
kehidupan masyarakat, dalam hal ini tingkat pengagguran.
Dengan
adanya internet, seperti yang dikatakan Scmidt & Cohen (2014), setiap orang
akan senantiasa berada dalam 2 dunia : dunia nyata yang telah terbentuk ribuan
tahun, dan dunia maya yang masih sedang mencari bentukny. Di dunia maya membuat
kita dapat menikmati konektivitas dengan cepat melalui berbagai peralatan,
walaupun konektivitas tidak serta merta menghapus kesenjangan yang terjadi di
dunia nyata. Ternyata, di dunia nyata kita masih harus berjuang melawan
berbagai rintangan, seperti rintangan geografis, keadaan lahir (lahir di
keluarga kayadi negara kaya, sedangkan yang hanya lahir di keluarga miskin di
negara miskin), serta perbedaan hakikat seperti manusia. Dengan demikian,
sebagai warga dunia kita memiliki 2 identitas, yaitu indentitas di dunia nyata
dan indentitas di dunia maya. Bagi orang yang sudah hidup dalam keduanya, maka
kedua dunianya itu tidak terpisahkan satu sama lain.
Dengan
konektivitas digital, selanjutnya Scmidt & Cohen (2014) mengemukakan bahwa
di masa mendatang pekerjaan yang menuntut kehadiran fisik kian berkurang dan
akan lebih banyak lagi pekerjaan yang terotomatisasi. Orang-orang akan bersaing
memperebutkan pekerjaan antar negara akibat globalisasi yang semakin menipiskan
monopoli lokal. Dalam kegiatan pendistribusian, rantai pasokan korporasi
semakin pendek membuat konsumen dapat membeli barang yang diproduksi di belahan
dunia lain dan barang yang dipesan dari jauh dapat tiba di tempat tujuan yang
berjarak ribuan kolometer menggunakan transaksi daring. Dengan demikian,
perusahaan atau organisasi harus memahami bagaimana teknologi menggerakan
perubahan besar dalam area bisnis.
Digital
Economy
Ada 3 tahapan digitalisasi,
sebagai berikut :
1.
Tahap
Digitalisasi 1.0, teknlogi sebatas menghitung atau mendokumentasi sehingga
memudahkan pengambilan keputusan.
2.
Tahap
Digitalisasi 2.0, teknlogi sudah terhubung satu sama lain sehungga menjadi
media sosial untuk bersosialisasi.
3.
Tahap
Digitalisasi 3.0, teknlogi memberikan akses bagi publik untuk berpartisipasi
aktif memberi tanggapan dan respon.
Lahirnya
era digital, membangkitkan konektivitas global dimana orang dalam julah yang
tak terhitung saling terhubung secara daring dan memberikan respon yang luar
biasa. Hal ini merupakan sebuah keberhasilan dalam memahami bagaimana teknlogi
memberikan perubahan. Perubahan teknologi ini akan memunculkan paradigma baru
yang sangat drastis perbedaannya di masa mendatang sehingga memunculkan
pertanyaan ‘bagaimana manusia di seluruh dunia memanfaatkan teknologi baginya,
kini dan masa mendatang’.
Dalam ilmu ekonomi, indikator
penting pertumbuhan adalah produktifitas yang mengukur nilai ekonomi yan
diciptakan untuk setiap satu unit input, seperti jam tenaga kerja. Semakin
tinggi nilainya, menunjukkan adanya perkembangan atau kemajuan perekonomian.
Peningkatan jumlah pekerjaan bersesuaian dengan peningkatan produktivitas.
Dijelaskan oleh Brynolfsson & McAfee (2014), bahwa hadirnya bsinis
mendatangkan lebih banyak kerja bagi para pekerja, yang merupakan bahan bakar
dalam kegiatan ekonomi, dan bahkan menciptakan lebih banyak lagi pekerjaan.
Namun, dikatakannya bahwa mulai awal tahun 2000 di Amerika Serikat,
produktivitas terukur terus menerus mengalami peningkatan, tetapi pekerjaan
mengalami kelesuan. Bahkan sejak tahun 2011, ada gap yang signifikan, yaitu pertumbuhan ekonomi tidak paralel dengan
peningkatan pencipataan lapangan pekerjaan.
Bagi perusahaan yang telah mapan,
untuk dapat bersaing dalam ekonomi digital, maka produk harus menjadi more customized, organisasi menjadi
lebih fleksibel melalui perubahan misi, sturktur dan strategi serta pabrik
menjadi virtual manufacturing. Dampak
digital economy terhadap aktivitas
kerja, seperti yang dilaporkan Hidayati (2017) sehubungan dengan studi McKinsey
Global Institute di 46 negara pada tahun 2017, yaitu :
1.
Sebagian
besar pekerja akan kehilangan pekerjaan.
2.
Sebagian
teknisi bekerja dengan mesin yang berevolusi dengan cepat, sehingga harus terus
menerus mengembangkan keterampilan dan keahliannya.
3.
25%
aktivitas chief executive officer (CEO) akan
tergantikan mesin, seperti proses pengmabilan keputusan dari analisis laporan
keuangan.
4.
Munculnya
pekerjaan-pekerjaan baru yang belum ada sebelumnya, seperti pengembangan
teknologi informasi, menajemen sistem teknlogi informasi, pembuat aplikasi
perangkat keras.
5.
Big
data memunculkan kebutuhan terhadap ilmuwan dengan kemampuan mengolah dan
menganalisis data secara statistik.
6.
Munculnya
wirausaha-wirasusaha baru baik yang berkala mikro maupun kecil.
Kemunculan
wirausaha baru atau start-up business,
tidak hanya membutuhkan ide-ide kreatif, namun juga sumber pendanaan. Modal
ventura (venture capital) merupakan
lembaga keuangan yang berinvestasi dalam bentuk penyertaan modal tunai dengan
memperoleh bagian saham dalam perusahaan yang membutuhkan pendanaan. Sumber
pendanaan lainnya dari Crowdfunding.
Crowdfunding adalah istilah untuk pengumpulan dana secara daring (online)
dari orang-orang di masyarakat yang memilik modal. Equity crowdfunding merupakan mekanisme pengumpulan dana dari
masyarakat secara daring dengan imbalan berupa kepemilikan (saham) di
perusahaan pengumpul dana, sedangkan loan-based
crowdfunding atau peer-to-peer
lending adalah mekanisme pengumpulan dana dari masyarakat secara daring
dengan imbalan berupa yield, yaitu
bunga pinjaman.
Peer-To-Peer Lending (P2P) merupakan perusahaan yang
menghubungkan antar orang-orang yang membutuhkan modal usaha, baik untuk
memulai usaha (start-up) ataupun untuk melanjutkan usaha kecil menengah, dengan
orang-orang di masyarakat yang memiliki anak melalui platform online. Layanan pinjam-meminjam langsung berbasisi
platform digital merupakan bantuan dari orang-orang yang menaruh dananya
diperusahaan teknologi finansial bagi usaha kecil menengah. Investor dapat
melakukan investasi pinjaman dimanapun dan kapanpun, bahkan dapatmemantau
keuntungannya. Proses pengajuan pinjaman relatif mudah dan pencairan dananya
relatif cepat.
Untuk
memudahkan proses penyeleksian pinjaman, perusahaan teknologi finansial
pinjaman bekerja sama dengan penyedia platform yang memiliki rekam jejak usaha
kecil menengah, seperti tingkat penjualannya yang terus mengalami peningkatan.
Namun ada pula yang meminta persyaratan yang lebih ketat, seperti: usaha telah
berjalan minimun 1 tahun, memiliki lapora keuangan walaupun sederhana, telah
mencatat laba, tidak memilik track record
kredit bermasalah, inovatif, sampai yang ramah lingkungan. Perusahaan
teknologi finansial pinjaman sebagai penyedia jasa platform pinjam-meminjam
langsung, juga membantu pemerintah dalam meningkatkan inklusi keuangan melalui
berbagai pelatihan yang diberikan, seperti: literasi keuangan, pinjaman mikro
dan pemasaran daring. Di samping itu, sebagai wirausaha baru harus
berkolaborasi untuk meningkatkan transksi yang terjadi, misalnya antara: e-commerce dengan teknlogi finansial (fintech) dan dengan perusahaan
distribusi. Teknologi finansial memudahkan konsumen dalam sistem pembayaran
transaksinya. Sementara dukungan juga diperlukan dari sistem pengudanganya
serta pada bagian pengiriman barang yang melakukan pendistribusian dari gudang
ke konsumen.
ERA DISRUPTIF
Schumpeter’s Theory of Creative Destruction
Dikutip
dari Weis (2015), sehubungan dengan “Schumpeter’s
Theory of Creative Destruction” yang dikemukakan oleh Schumpeter (1950)
yang menjelaskan bahwa proses pembaharuan ekonomi terjadi melalui inovasi yang
merupakan mekanisme merusak keseimbangan yang tengah terjadi dan kemudian
menciptakan yang baru. Bagi Schumpeter (1950), sehubungan dengan hasrat untuk
mencipta, maka entrepreneur merupakan figur yangbbersedia dan berkemampuan
untuk mengimplementasikan ide-ide dan penemuan-penemuan barunya menjadi inovasi
yang berhasil. Dengan tecnological
inovation, entrepreneurs mengembangkan output-output baru melalui tahapan
proses baru sehingga menciptakan suatu keadaan yang dapat menyingkirkan para
pesaingnya dan imitators. Keadaan ini
menggambarkan suatu persaingan. Dalam pandangan Schumpeter (1950), persangingan
merupakan proses penciptaan pengetahuan baru dalam sistem ekonomi yang
berkompetisi, sehingga menghancurkan lapangan kerja tetapi juga meciptakan
lapangan pekerjaan. Oleh karena itu, entrepreneur
merupakan agen perubahan. Weis (2015) mengemukakan bahwa perusahaan yang
inovatif berbeda dari perusahaan tradisional yang secara aktif melakukan
perubahan0perubahan. Menjadi inovatif merupakan aspek penting yang tertanam dan
berakar dalam visi, strategi dan budaya perusahaan.
Christensen’s Theory of
Disruptive Technology
Disruptif adalah sebuah gangguan
yang di era digial ini muncul dari hasil inovasi bebbais teknologi dimana
kemunculannya menjadi tantangan terhadap kemapanan bisnis yang telah ada. Istilah
“Disruptive Technology” pertama kali
diperkenalkanvoleh Clayton M. Disruptive technology yang muncul tersebut,
seiring dengan waktu, dikembangkan terus menerus pada akhirnya menantang
produk-produk yang dihasilkan dengan sustainable
technology- attack from below. Theory of disruptive innovation bermaksud
menjelaskanadanya kegagalan bisnis terkemuka yang sekaligus menjadi peringatan
bahwa hal tersebut senantiasa aka terus terjadi dari waktu ke waktu dan dari
industri ke industri.
Pernyataannya
sehubungan dengan disruptive innovation tersebut
kemudian disitasi dalam berbaagai artkel jurnal maupun media masa yang kemudian
memunculkan perdebatan akibat dari kesalah pahaman. Salah satu artikel
mempertanyakan: Bagaimanakah Christensen’s
Theory of Disruptive Technology dapat diaplikasikan secara luas?. Disamping
itu, ada penelitian yang melakukan pengujian terhadap Christensen’s Theory of Disruptive Technology yang memberikan hasil
yang tidak membenarkan teori tersebut, bahkan menyatakan yang sebaliknya bahwa
sebagian besar manajer memberikan respon secara efektif terhadap
ancaman-ancaman yang berpotensi menggangu. Pertanyaan dan penelitian tersebut
mendorong King & Baatartogkh (2015) melakukan pengujian sehubungan dengan
seberapa baikkah Christensen’s Theory of
Disruptive Technology dalam menjelaskan apa syang sebenernya terjadi dalam
bisnis. Studi ini melibatkan 77 kasus untuk menguji empat faktor kunci yang ada
pada theory of disruption innovation sehubungan
dengan incumbent comapinies, yaitu :
1.
Melakukan
inovasi yang berkelanjutan (sustaning inovation).
2.
Menyediakan
produk dan jasa melampaui yang dibutuhkan konsumen,
3.
Memiliki
kapabilitas untuk merespon ancaman-ancaman yang menggangu walaupun gagal dalam
melawan penganggu-penggangu potensialnya.
4.
Pada
akhinya pengambilan pasar.
Dalam
studinya, Christensen (2006) kemudian menegaskan bahwa dsrupsi bukanlah masalah
teknologi, melainkan masalah model bisnis. Hasil wawancara dengan Christensen
yang dilaporkan dalam Nieman Report pada 2012 dengan judul laporan ‘Be The Disruptor’ mengemukanan bahwa
pada setiap kegiatan bisnis akan ada pola berulang dengan munculnya pemain baru
yang ketika masuk pasar menawarkan dengan harga yang lebih murah dan dengan
cara yang lebih mudah sehingga kehadirannya tidak dipertimbangakan. Namun,
dengan melakukan perbaikan yang tiada henti, maka pemain baru tersebut menjadi
pemain utama dalam bisnisnya. Selanjutnya, pada 18 tahun kemudia, Christensen,
Raynor, Altman & McDonald (2015) melakukan klarifikasi dengan memberikan
sebuah ringkasan, penulusuran penelitian sehubungan disruptive inovation serta pengelompokan untuk penelitian lebih
lanjut.
Lebih
lanjut, Christensen (2015) kemudian mengelompokan topik-topik penelitian disruptive inovation kedalam 4 kategori,
yaitu: 1. Performance trajector yang
menunjukkan dimana disrupsi bisa terjadi, 2. Response startegies and hybirds yang memberikan cara-cara bagaimana
incumbent menghadapi disruptif, 3. Platform business yang bermitra dengan startups’techonlogy, 4. Innovation metrics yang memuncukkan
kembali merek perusahaan dalan peran barunya. Hal ini dilakukan dengan harapan
akan muncul diskusi akademik yang kemudian mendorong bukan hanya penyelenggara
penelitan yang memberikan kontribusi teoritis namun juga penyelenggara
penelitian empiris yang mempersiapkan perusahaan-perusahaan dalam era
desruptif.
Hidayati
(2017) melaporkan sehubungan dengan era disruptif yang diakbatkan inovasi di
bidang digital, menurut The Manufacturing
Institute dan Deloitte yang dikutip The Economist, bawah pada tahun 2025 di
Amerika Serikat diprediksi akan terjadi
‘lowongan pekerjaan yang hangus’ dimana dari 2 juta dari 3,5 juta posisi
diperkirakan tidak akan terisi. Hal ini disebabkan, kuranganya tenaga kerja
trampil di bidang manufaktur. Untuk mengatasinya, dilakukan kolaborasi anatara
dunia pendidikan dengan perusahaan manufaktur dalam mempromosikan skema
pelatihan inovatif. Juga di Indonesia, diperlukan sekolah vokasi dengan
kurikulum dan proses belajarnya yang terintegrasi sepenuhnya dengan industri,
karena penyiapan tenaga kerja yang kompeten menjadi fokus perhatian semua
pihak.
FIRM LIFE CYCLE
Perusahaan-perusahaan
yang berpeluang menghadapi dilema akibat mempertahankan sustaning innovation,
seperti yang disampaikan Clayton M. Christensen merupakan perusahaan-perusahaan
yang sudah berada pada tahap kedewasaan dalam daur hidupnya. Sehubungan dengan
daur hidup perusahaan, ada 2 kondisi yang perlu mendapat perhatian. Yang
pertama, memahami pada tahapan manakah perushaan berada, yang kedua keputusan
manakah yang menjadi prioritas terkait pada tahapan mana perusahaan berada.
Yang pertama, pada tahapan manakah
daur hidupnya perushaan berada , ternyata tidak dapat ditetapkan dengan mudah.
Hal ini dapat dilihat dari banyaknya tahapan daur hidup perusahaan yang
diusulkan sebagai hasil studi atau penelitian. Seperti pada daur hidup manusia
atau pada daur hidup produk , tahapan daur hidup perusahaan dibagi ke 4
tahapan, yaitu tahapan kelahiran (birth
or introduction phase), tahapan pertumbuhan (growth phase), tahap kedewasaan (maturity phase) dan tahap penurunan (decline phase), Pashley & Philiphatos (1990). Ada peneliti yang
menggunakan hanya 3 tahapan, Anthony dan Ramesh (1992). Namun ada juga yang
menambah 1 tahapan, yaitu tahapan kebangkitan (revival phase), Miller & Friesen (1984). Sehubungan dengan
tahapan daur hidup perusahaan, pada dasarnya semua perusahaan akan berada pada
tahapan kelahiran (birth phase).
Tetapi tidak ada ketetapan berapa lama sebuah perusahaan berada pada tahap ini.
Yang pasti, tahapan ini merupakan tahapan yang paling singkat diantara tahapan
lainnya dan tidak diperdebatkan bahwa tahapan kelahiran hanya terjadi 1 kali
dalam sejarah hidup perusahaan. Seteah itu, perusahaan masuk pada tahapan
pertmubuhan. Pada tahapan inilah banyak start-up
business yang tidak dapat bertahan.
Salah satu variabel yang paling
sering digunakan dalam penelitian daur hidup perusahaan adalah variabel
penjualan, Spence (1979). Dengan mengguanakan metodologi yang dikembangkan oleh
Yan & Zhao (2010) serta menggunakan variabel penjualan dan umur favricated metal products sector.
Hasilnya, dengan menggunakan metodologi yang dikembangkan Yan & Zhao
(2010), ada satu perusahaan yang tidak
dapat diindetifikasi tahapan daur hidupnya.
Startegi yang tepat pada tahapn daur
hidup yan tepat menujukan kemampuan perusahaan dalam beradaptasi. Pemilihan
strategi menejemen yang tepat bersedia beradaptasi terhadap kondisi internal
dan eksternal perusahaan, hanya 6% perusahaan pada sektor industri manufaktur
periode IPO masing-masing perusahaan hingga Desember 2015, menunjukkan
kemampuan perusahaan menstabilkan penjualannya setiap berada pada tahapan
tertentu, namun menunjukkan adanya peningkatan penjualan ketika dibandingkan
antara satu tahapan dengan tahapan selanjutnya, Irawan dan Dewi (2017). De
Angelo, De Angelo & Stulz (2006), mengemukakan bahwa struktur perusahaan
dan kebijakannya dapat dijelaskan menggunakan daur hidup perusahaan. Demikian
juga dengan Lester, Parnell, dan Carrahaer (2003) yang menyatakan bahwa ada
hubungan antara daur hidup perusahaan dengan competitive strategy. Dengan memahami keputusan apa yang perlu
mendapat perhatian terkait tahapan daur hidup perusahaan, maka perusahaan dapat
bereaksi secara tepat dalam rangka mengantisipasi pengembangan atau perubahan
yang diperlukan perusahaan. Quinn & Cameron (1983), seperti yang dikutip
oleh Stepanyan (2012). Dengan demikian, Desruptive
Theory menambah satu keputusan penting yang harus dipertimbangkan
perusahaan, khususnya bagi perusahaan yang telah berada pada tahapan
kedawasaan, jika tidak ingin masuk dalam tahap akhir, decline phase yang kemudian menjadi tidak eksis lagi.
GENERASI MILENIAL
“Generasi Milenial adalah
generasi yang terlahir dalam kisaran 1980-2000, sebagian generasi Y (lahir
tahun 1980) dan sebagian generasi Z (lahir tahun 2000). Generasi ini dikenal
sebegai generasi yang ’bergaul erat’ dengan teknologi komunikasi dan informasi,
yaitu: melalui internet berselancar di dunia maya dalam meperoleh informasi dan
berkomunikasi melalui sosial media. Perbedaan mencolok dengan generasi
sebulumnya ditunjukkan dalam pola berbelanja. Generasi pendahulunya memerlukan
keyakinan yang tinggi terlebih dahulu akan keadaan barang yang dibelinya,
sehingga mengharuskan dirinya untuk memeriksa kondisi rill barang tersebut
dilapangan sebelum memutuskan untuk membelinya. Sementara generasi Y maupun Z
sudah bisa mempercayai kondisi barang yang akan dibelinya dengan hanya melihatnya
melalui internet demikian pula dengan sumber informasinya, baik informasi yang
paling umum hingga yang berisfat ilmiah, semuanya dilakukan dengan searching di internet. Padahal generasi
sebelumnya memperoleh informasi dari berbagai sumber, seperti: membaca media
cetak untuk memperoleh ‘opini’, melihat televisi untuk memperoleh berita
terkini, mendengarkan radio untuk informasi sehubungan dengan iklan, bahkan
mengunjungi perpustakaaan untuk memperoleh bahan bacaan ilmiah.
Sehubungan dengan pekerjaan yang
sesuai bagi generasi milenial, dari budaya hidupnya sudah dapat diduga bahwa
mereka akan memilih untuk bekerja lepas, yaitu tidak terikat waktu kerja dan
tidak terikat peraturan-peraturan di perusahaan. Yang umum bagi generasi
milenial adalah memiliki banyak koneksi, dapat mengembangkan keahlian yang bisa
jadi merupakan kegemarannya, dapat membuat mereka bekerja kreatif.
Kecenderungan bekerja lepas ini dapat dipredisksi dari adanya beberapa orang
terntentu pada generasi sebelumnya yang
menunjukkan sifat seperti generasi milenial sekarang ini. Mereka memilih untuk
memliki usaha sendiri sehingga dapat menerima pesanan langsung dari konsumen
individu. Tapi, tidak sedikit yang mengerjakan pesanan dari perusahaan atau
organisasi tertentu.
Semakin tingginya persaingan di
era digital dan semakin meningkatnya tenaga kerja dari generasi milenial, maka
pekerjaan-pekerjaan yang menuntut kreatifitas dan berbasis digital dapat
diserahkan kepada mereka untuk dikerjakan di rumah atau di kafe atau di berbagai
tempat tertentu lainnya yang diinginkan. Dengan berkolaborasi, perusahaan dapat
memperoleh ide kreatif yang didatngkan dari luar perusahaan. Kerjasama seperti
ini membuat perusahaan dapat lebih efisien namun juga menjadi lebih kreatif.
Dengan demikian, pada masa mendatang perusahaan dapat tetap memiliki karyawan
dari generasi sebelumnya yang bekerja di kantor dengan jam kantor seperti yang
telah ditetapkan. Sementara, karyawan dari generasi milenial bekerja di luar
kantor. Hanya saja, perusahaan perlu memfasilitasi agar tetap terjalin
komunikasi diantara kedua generasi tersebut.
No comments:
Post a Comment