Thursday, October 24, 2019

MENYONSONG ERA REVOLUSI INDUSTRI 4.0 ( TRANFORMASI DIGITAL )


Industrialisasi  dipandang sebagai langkah tepat dalam menjawab potret sejarah kemiskinan dunia sehingga mempermudah pekerjaan. Lebih jauhnya lagi, memberikan masyarakat harapan hidup yang lebih panjang. Walaupun pada awalnya mengurbankan orang sehingga muncul kesenjangan sosial serta menghasilkan kerusakan lingkungan, namun pada akhirnya industrialisasi mendatangkan kekayaan serta kenyamanan hidup dengan dikelilingi peralatan yang mudah dipakai.

Revolusi Industri I
            Revolusi Industri I dimulai dari ditemukannya Mesin Uap oleh James Watt pada tahun 1764. Temuan ini berdampak baik yang pada awalnya memakai bantuan hewan dan hanya menggunakan alat seadanya telah beralih menggunakan mesin uap sehingga barang yang di produksi dapat cepat selesai dengan jumlah yang melimpah dan harga murah tentunya. Revolusi Industri I membawa peralihan dari perekonomian pertanian menjadi perekonomian berbasis industri. Hal ini menandai dimulainya era Mekanisasi.
Revolusi Industri II
            Revolusi Industri 2.0 diawali dari hasil penelitian yang dilakukan  oleh Faraday & Maxwell yang menghubungkan kekuatan antara sistem magnetik dengan sistem elektrik yang menggerakan mesin proses produksi serta ditemukannya ban berjalan yang digunakan dalam proses perakitan di berbagai indutri, sehingga menghasilkan produk dalam jumlah besar. Lahirlah Era Elektrik.
Revolusi Industri III
            Dimulai dari temuan internet dan komputer yang mempengaruhi pola komunikasi dan peredaran informasi di masyrakat. Juga temuan robot yang menggantikan tenaga kerja manusia dalam proses perakitan namun masih dikontrol oleh Human Operators. Dengan demikian, bergeser ke era Otomatisasi.
Revolusi Industri IV
            Sehubungan  dengan keunggulannya Xing dan Marwala (2016) mengemukakan bahwa revolusi industri 4 mengintegrasikan ratai nilai vertikal dan horisontal dengan menghubungkan secara digital semua unit produktif dalam perekonomian. Sekertaris Direktorat Jenderal Industri Logam, Mesin, Alat Transportasi dan Elektronika dari Kementerian Perindustrian pada saat meresmikan Pameran Manufacturing Indonesia 2017 menyampaikan bahwa yang terutama bagi Indonesia saat ini adalah keharusan untuk mengembangkan dan membangun sektor Industri Permesinan yang merupakan pendukung dari seluruh proses produksi pada industri lainnya khususnya pada sektor Industri Manufaktur.
            Berbagai penelitian dilakukan untuk mengetahui bagaimana efek dari pemanfaatan teknologi terhadap kinerja perusahaan. Kariuki (2005) memperoleh temuan bahwa e-banking memberikan dampak positif baik terhadap profitabilitas karena adanya peningkatan pangsa pasar akibat costumized products, juga terhadap pelayanan yang lebih baik terhadap permintaan klien. Namun, dampaknya juga terjadi pada turnover tenaga kerja.
            Revolusi industri yang diawali dengan keberhasilan menemukan teknologi yang mempermudah kehidupan manusia, di kemudian hari menimbulkan permasalahan yang meresahkan. Keresahan tersebut bersumber dari dampak yang ditimbulkannya dalam masyarakat, yaitu hilangnya beberapa jenis pekerjaan tertentu, walaupun dari kemampuan memprediksi dan dari pengalaman sebelumnya, diantisipasi akan memunculkan jenis-jenis pekerjaan baru. Namun, ditengarai bahwa era digitalisasi sebagai hasil dari perubahan  teknologi revolusi industri 4.0, dibandingkan revolusi industri sebelumnya akan ada yang lebih banyak lagi perkerjaan-pekerjaan yang hilang karena digantikan oleh robot  dengan kemampuan berpikir seperti manusia.

Big Data dan Artifical Intelegent
            Komputer telah lama berada di masyarakat, namun tidak menangkap perilaku penggunanya. Berbeda saat smartphone digunakan, prilaku konsumen dapat dikumpulkan dalam Big Data sebagai hasil perekaman aktifitas pergerakan melalui GPS.
Big Data merekam semua data serta kegiatan yang pernah dilakukan untuk kemudian memprediksi apa yang mungkin terjadi di masa mendatang. Big data memiliki jelajah yang melampaui jaringan media sosial karena mempengaruhi hampir setiap afspek kehidupan modern. Marr (2017:8) mengungkapkan bahwa ada tiga area utama dalam bisnis yang sangat membutuhkan akses terhadap big data, yaitu improving decision making, improving operations dan monetizing of data.
           

Sehubungan dengan big data perilaku pelanggan, dimulai dari pengumpulan data pelanggan, kemudian dilakukan pengolahan data, dan selanjutnya dianalisa. Hasil analisa data yang diperoleh dari big data dapat digunakan dalam membaca perilaku pelanggan, menangkap perubahan perilaku pelanggan dan yang terpenting adalah memprediksi kebutuhan pelanggan, baik kebutuhan yang sudah ada maupun kecenderung kebutuhan yang akan muncul di masa mendatang.
                        
Para ahli menyatakan bahwa saat ini ‘dunia’ berada pada revolusi industri 3. Kehadiran Teknologi Komunikasi dan Informasi masih membawa misi mempermudah kehidupan manusia. Revolusi Teknologi sudah jauh memasuki kehidupan manusia yang membawa pada perubahan dalam tatanan sosial. Ketika otomatisasi dalam industri permesinan mempengaruhi sektor industri lainnya, ada industri tertentu yang diatur oleh pemerintah yang tidak serta merta menggunakan mesin otomatisasi tersebut mengingat dampaknya yang sangat signfikan terhadap kehidupan masyarakat, dalam hal ini tingkat pengagguran.

Dengan adanya internet, seperti yang dikatakan Scmidt & Cohen (2014), setiap orang akan senantiasa berada dalam 2 dunia : dunia nyata yang telah terbentuk ribuan tahun, dan dunia maya yang masih sedang mencari bentukny. Di dunia maya membuat kita dapat menikmati konektivitas dengan cepat melalui berbagai peralatan, walaupun konektivitas tidak serta merta menghapus kesenjangan yang terjadi di dunia nyata. Ternyata, di dunia nyata kita masih harus berjuang melawan berbagai rintangan, seperti rintangan geografis, keadaan lahir (lahir di keluarga kayadi negara kaya, sedangkan yang hanya lahir di keluarga miskin di negara miskin), serta perbedaan hakikat seperti manusia. Dengan demikian, sebagai warga dunia kita memiliki 2 identitas, yaitu indentitas di dunia nyata dan indentitas di dunia maya. Bagi orang yang sudah hidup dalam keduanya, maka kedua dunianya itu tidak terpisahkan satu sama lain.

Dengan konektivitas digital, selanjutnya Scmidt & Cohen (2014) mengemukakan bahwa di masa mendatang pekerjaan yang menuntut kehadiran fisik kian berkurang dan akan lebih banyak lagi pekerjaan yang terotomatisasi. Orang-orang akan bersaing memperebutkan pekerjaan antar negara akibat globalisasi yang semakin menipiskan monopoli lokal. Dalam kegiatan pendistribusian, rantai pasokan korporasi semakin pendek membuat konsumen dapat membeli barang yang diproduksi di belahan dunia lain dan barang yang dipesan dari jauh dapat tiba di tempat tujuan yang berjarak ribuan kolometer menggunakan transaksi daring. Dengan demikian, perusahaan atau organisasi harus memahami bagaimana teknologi menggerakan perubahan besar dalam area bisnis.

Digital Economy
Ada 3 tahapan digitalisasi, sebagai berikut :
1.      Tahap Digitalisasi 1.0, teknlogi sebatas menghitung atau mendokumentasi sehingga memudahkan pengambilan keputusan.
2.      Tahap Digitalisasi 2.0, teknlogi sudah terhubung satu sama lain sehungga menjadi media sosial untuk bersosialisasi.
3.      Tahap Digitalisasi 3.0, teknlogi memberikan akses bagi publik untuk berpartisipasi aktif memberi tanggapan dan respon.

Lahirnya era digital, membangkitkan konektivitas global dimana orang dalam julah yang tak terhitung saling terhubung secara daring dan memberikan respon yang luar biasa. Hal ini merupakan sebuah keberhasilan dalam memahami bagaimana teknlogi memberikan perubahan. Perubahan teknologi ini akan memunculkan paradigma baru yang sangat drastis perbedaannya di masa mendatang sehingga memunculkan pertanyaan ‘bagaimana manusia di seluruh dunia memanfaatkan teknologi baginya, kini dan masa mendatang’.

Dalam ilmu ekonomi, indikator penting pertumbuhan adalah produktifitas yang mengukur nilai ekonomi yan diciptakan untuk setiap satu unit input, seperti jam tenaga kerja. Semakin tinggi nilainya, menunjukkan adanya perkembangan atau kemajuan perekonomian. Peningkatan jumlah pekerjaan bersesuaian dengan peningkatan produktivitas. Dijelaskan oleh Brynolfsson & McAfee (2014), bahwa hadirnya bsinis mendatangkan lebih banyak kerja bagi para pekerja, yang merupakan bahan bakar dalam kegiatan ekonomi, dan bahkan menciptakan lebih banyak lagi pekerjaan. Namun, dikatakannya bahwa mulai awal tahun 2000 di Amerika Serikat, produktivitas terukur terus menerus mengalami peningkatan, tetapi pekerjaan mengalami kelesuan. Bahkan sejak tahun 2011, ada gap yang signifikan, yaitu pertumbuhan ekonomi tidak paralel dengan peningkatan pencipataan lapangan pekerjaan.

Bagi perusahaan yang telah mapan, untuk dapat bersaing dalam ekonomi digital, maka produk harus menjadi more customized, organisasi menjadi lebih fleksibel melalui perubahan misi, sturktur dan strategi serta pabrik menjadi virtual manufacturing. Dampak digital economy terhadap aktivitas kerja, seperti yang dilaporkan Hidayati (2017) sehubungan dengan studi McKinsey Global Institute di 46 negara pada tahun 2017, yaitu :
1.      Sebagian besar pekerja akan kehilangan pekerjaan.
2.      Sebagian teknisi bekerja dengan mesin yang berevolusi dengan cepat, sehingga harus terus menerus mengembangkan keterampilan dan keahliannya.
3.      25% aktivitas chief executive officer (CEO) akan tergantikan mesin, seperti proses pengmabilan keputusan dari analisis laporan keuangan.
4.      Munculnya pekerjaan-pekerjaan baru yang belum ada sebelumnya, seperti pengembangan teknologi informasi, menajemen sistem teknlogi informasi, pembuat aplikasi perangkat keras.
5.      Big data memunculkan kebutuhan terhadap ilmuwan dengan kemampuan mengolah dan menganalisis data secara statistik.
6.      Munculnya wirausaha-wirasusaha baru baik yang berkala mikro maupun kecil.

Kemunculan wirausaha baru atau start-up business, tidak hanya membutuhkan ide-ide kreatif, namun juga sumber pendanaan. Modal ventura (venture capital) merupakan lembaga keuangan yang berinvestasi dalam bentuk penyertaan modal tunai dengan memperoleh bagian saham dalam perusahaan yang membutuhkan pendanaan. Sumber pendanaan lainnya dari Crowdfunding. Crowdfunding adalah istilah untuk pengumpulan dana secara daring (online) dari orang-orang di masyarakat yang memilik modal. Equity crowdfunding merupakan mekanisme pengumpulan dana dari masyarakat secara daring dengan imbalan berupa kepemilikan (saham) di perusahaan pengumpul dana, sedangkan loan-based crowdfunding atau peer-to-peer lending adalah mekanisme pengumpulan dana dari masyarakat secara daring dengan imbalan berupa yield, yaitu bunga pinjaman.

Peer-To-Peer Lending (P2P) merupakan perusahaan yang menghubungkan antar orang-orang yang membutuhkan modal usaha, baik untuk memulai usaha (start-up) ataupun untuk melanjutkan usaha kecil menengah, dengan orang-orang di masyarakat yang memiliki anak melalui platform online. Layanan pinjam-meminjam langsung berbasisi platform digital merupakan bantuan dari orang-orang yang menaruh dananya diperusahaan teknologi finansial bagi usaha kecil menengah. Investor dapat melakukan investasi pinjaman dimanapun dan kapanpun, bahkan dapatmemantau keuntungannya. Proses pengajuan pinjaman relatif mudah dan pencairan dananya relatif cepat.

Untuk memudahkan proses penyeleksian pinjaman, perusahaan teknologi finansial pinjaman bekerja sama dengan penyedia platform yang memiliki rekam jejak usaha kecil menengah, seperti tingkat penjualannya yang terus mengalami peningkatan. Namun ada pula yang meminta persyaratan yang lebih ketat, seperti: usaha telah berjalan minimun 1 tahun, memiliki lapora keuangan walaupun sederhana, telah mencatat laba, tidak memilik track record kredit bermasalah, inovatif, sampai yang ramah lingkungan. Perusahaan teknologi finansial pinjaman sebagai penyedia jasa platform pinjam-meminjam langsung, juga membantu pemerintah dalam meningkatkan inklusi keuangan melalui berbagai pelatihan yang diberikan, seperti: literasi keuangan, pinjaman mikro dan pemasaran daring. Di samping itu, sebagai wirausaha baru harus berkolaborasi untuk meningkatkan transksi yang terjadi, misalnya antara: e-commerce dengan teknlogi finansial (fintech) dan dengan perusahaan distribusi. Teknologi finansial memudahkan konsumen dalam sistem pembayaran transaksinya. Sementara dukungan juga diperlukan dari sistem pengudanganya serta pada bagian pengiriman barang yang melakukan pendistribusian dari gudang ke konsumen.


ERA DISRUPTIF

Schumpeter’s Theory of Creative Destruction
Dikutip dari Weis (2015), sehubungan dengan “Schumpeter’s Theory of Creative Destruction” yang dikemukakan oleh Schumpeter (1950) yang menjelaskan bahwa proses pembaharuan ekonomi terjadi melalui inovasi yang merupakan mekanisme merusak keseimbangan yang tengah terjadi dan kemudian menciptakan yang baru. Bagi Schumpeter (1950), sehubungan dengan hasrat untuk mencipta, maka entrepreneur  merupakan figur yangbbersedia dan berkemampuan untuk mengimplementasikan ide-ide dan penemuan-penemuan barunya menjadi inovasi yang berhasil. Dengan tecnological inovation, entrepreneurs mengembangkan output-output baru melalui tahapan proses baru sehingga menciptakan suatu keadaan yang dapat menyingkirkan para pesaingnya dan imitators. Keadaan ini menggambarkan suatu persaingan. Dalam pandangan Schumpeter (1950), persangingan merupakan proses penciptaan pengetahuan baru dalam sistem ekonomi yang berkompetisi, sehingga menghancurkan lapangan kerja tetapi juga meciptakan lapangan pekerjaan. Oleh karena itu, entrepreneur merupakan agen perubahan. Weis (2015) mengemukakan bahwa perusahaan yang inovatif berbeda dari perusahaan tradisional yang secara aktif melakukan perubahan0perubahan. Menjadi inovatif merupakan aspek penting yang tertanam dan berakar dalam visi, strategi dan budaya perusahaan.

Christensen’s Theory of Disruptive Technology
            Disruptif adalah sebuah gangguan yang di era digial ini muncul dari hasil inovasi bebbais teknologi dimana kemunculannya menjadi tantangan terhadap kemapanan bisnis yang telah ada. Istilah “Disruptive Technology” pertama kali diperkenalkanvoleh Clayton M. Disruptive technology yang muncul tersebut, seiring dengan waktu, dikembangkan terus menerus pada akhirnya menantang produk-produk yang dihasilkan dengan sustainable technology- attack from below. Theory of disruptive innovation bermaksud menjelaskanadanya kegagalan bisnis terkemuka yang sekaligus menjadi peringatan bahwa hal tersebut senantiasa aka terus terjadi dari waktu ke waktu dan dari industri ke industri.
            Pernyataannya sehubungan dengan disruptive innovation tersebut kemudian disitasi dalam berbaagai artkel jurnal maupun media masa yang kemudian memunculkan perdebatan akibat dari kesalah pahaman. Salah satu artikel mempertanyakan: Bagaimanakah Christensen’s Theory of Disruptive Technology  dapat diaplikasikan secara luas?. Disamping itu, ada penelitian yang melakukan pengujian terhadap Christensen’s Theory of Disruptive Technology yang memberikan hasil yang tidak membenarkan teori tersebut, bahkan menyatakan yang sebaliknya bahwa sebagian besar manajer memberikan respon secara efektif terhadap ancaman-ancaman yang berpotensi menggangu. Pertanyaan dan penelitian tersebut mendorong King & Baatartogkh (2015) melakukan pengujian sehubungan dengan seberapa baikkah Christensen’s Theory of Disruptive Technology dalam menjelaskan apa syang sebenernya terjadi dalam bisnis. Studi ini melibatkan 77 kasus untuk menguji empat faktor kunci yang ada pada theory of disruption innovation sehubungan dengan incumbent comapinies, yaitu :
1.      Melakukan inovasi yang berkelanjutan (sustaning inovation).
2.      Menyediakan produk dan jasa melampaui yang dibutuhkan konsumen,
3.      Memiliki kapabilitas untuk merespon ancaman-ancaman yang menggangu walaupun gagal dalam melawan penganggu-penggangu potensialnya.
4.      Pada akhinya pengambilan pasar.
Dalam studinya, Christensen (2006) kemudian menegaskan bahwa dsrupsi bukanlah masalah teknologi, melainkan masalah model bisnis. Hasil wawancara dengan Christensen yang dilaporkan dalam Nieman Report pada 2012 dengan judul laporan ‘Be The Disruptor’ mengemukanan bahwa pada setiap kegiatan bisnis akan ada pola berulang dengan munculnya pemain baru yang ketika masuk pasar menawarkan dengan harga yang lebih murah dan dengan cara yang lebih mudah sehingga kehadirannya tidak dipertimbangakan. Namun, dengan melakukan perbaikan yang tiada henti, maka pemain baru tersebut menjadi pemain utama dalam bisnisnya. Selanjutnya, pada 18 tahun kemudia, Christensen, Raynor, Altman & McDonald (2015) melakukan klarifikasi dengan memberikan sebuah ringkasan, penulusuran penelitian sehubungan disruptive inovation serta pengelompokan untuk penelitian lebih lanjut.
Lebih lanjut, Christensen (2015) kemudian mengelompokan topik-topik penelitian disruptive inovation kedalam 4 kategori, yaitu: 1. Performance trajector yang menunjukkan dimana disrupsi bisa terjadi, 2. Response startegies and hybirds yang memberikan cara-cara bagaimana incumbent menghadapi disruptif, 3. Platform business yang bermitra dengan startups’techonlogy, 4. Innovation metrics yang memuncukkan kembali merek perusahaan dalan peran barunya. Hal ini dilakukan dengan harapan akan muncul diskusi akademik yang kemudian mendorong bukan hanya penyelenggara penelitan yang memberikan kontribusi teoritis namun juga penyelenggara penelitian empiris yang mempersiapkan perusahaan-perusahaan dalam era desruptif.

Hidayati (2017) melaporkan sehubungan dengan era disruptif yang diakbatkan inovasi di bidang digital, menurut The Manufacturing Institute dan Deloitte yang dikutip The Economist, bawah pada tahun 2025 di Amerika Serikat  diprediksi akan terjadi ‘lowongan pekerjaan yang hangus’ dimana dari 2 juta dari 3,5 juta posisi diperkirakan tidak akan terisi. Hal ini disebabkan, kuranganya tenaga kerja trampil di bidang manufaktur. Untuk mengatasinya, dilakukan kolaborasi anatara dunia pendidikan dengan perusahaan manufaktur dalam mempromosikan skema pelatihan inovatif. Juga di Indonesia, diperlukan sekolah vokasi dengan kurikulum dan proses belajarnya yang terintegrasi sepenuhnya dengan industri, karena penyiapan tenaga kerja yang kompeten menjadi fokus perhatian semua pihak.


FIRM LIFE CYCLE
Perusahaan-perusahaan yang berpeluang menghadapi dilema akibat mempertahankan sustaning innovation, seperti yang disampaikan Clayton M. Christensen merupakan perusahaan-perusahaan yang sudah berada pada tahap kedewasaan dalam daur hidupnya. Sehubungan dengan daur hidup perusahaan, ada 2 kondisi yang perlu mendapat perhatian. Yang pertama, memahami pada tahapan manakah perushaan berada, yang kedua keputusan manakah yang menjadi prioritas terkait pada tahapan mana perusahaan berada.
            Yang pertama, pada tahapan manakah daur hidupnya perushaan berada , ternyata tidak dapat ditetapkan dengan mudah. Hal ini dapat dilihat dari banyaknya tahapan daur hidup perusahaan yang diusulkan sebagai hasil studi atau penelitian. Seperti pada daur hidup manusia atau pada daur hidup produk , tahapan daur hidup perusahaan dibagi ke 4 tahapan, yaitu tahapan kelahiran (birth or introduction phase), tahapan pertumbuhan (growth phase), tahap kedewasaan (maturity phase) dan tahap penurunan (decline phase), Pashley & Philiphatos (1990). Ada peneliti yang menggunakan hanya 3 tahapan, Anthony dan Ramesh (1992). Namun ada juga yang menambah 1 tahapan, yaitu tahapan kebangkitan (revival phase), Miller & Friesen (1984). Sehubungan dengan tahapan daur hidup perusahaan, pada dasarnya semua perusahaan akan berada pada tahapan kelahiran (birth phase). Tetapi tidak ada ketetapan berapa lama sebuah perusahaan berada pada tahap ini. Yang pasti, tahapan ini merupakan tahapan yang paling singkat diantara tahapan lainnya dan tidak diperdebatkan bahwa tahapan kelahiran hanya terjadi 1 kali dalam sejarah hidup perusahaan. Seteah itu, perusahaan masuk pada tahapan pertmubuhan. Pada tahapan inilah banyak start-up business yang tidak dapat bertahan.
            Salah satu variabel yang paling sering digunakan dalam penelitian daur hidup perusahaan adalah variabel penjualan, Spence (1979). Dengan mengguanakan metodologi yang dikembangkan oleh Yan & Zhao (2010) serta menggunakan variabel penjualan dan umur favricated metal products sector. Hasilnya, dengan menggunakan metodologi yang dikembangkan Yan & Zhao (2010), ada satu  perusahaan yang tidak dapat diindetifikasi tahapan daur hidupnya.
            Startegi yang tepat pada tahapn daur hidup yan tepat menujukan kemampuan perusahaan dalam beradaptasi. Pemilihan strategi menejemen yang tepat bersedia beradaptasi terhadap kondisi internal dan eksternal perusahaan, hanya 6% perusahaan pada sektor industri manufaktur periode IPO masing-masing perusahaan hingga Desember 2015, menunjukkan kemampuan perusahaan menstabilkan penjualannya setiap berada pada tahapan tertentu, namun menunjukkan adanya peningkatan penjualan ketika dibandingkan antara satu tahapan dengan tahapan selanjutnya, Irawan dan Dewi (2017). De Angelo, De Angelo & Stulz (2006), mengemukakan bahwa struktur perusahaan dan kebijakannya dapat dijelaskan menggunakan daur hidup perusahaan. Demikian juga dengan Lester, Parnell, dan Carrahaer (2003) yang menyatakan bahwa ada hubungan antara daur hidup perusahaan dengan competitive strategy. Dengan memahami keputusan apa yang perlu mendapat perhatian terkait tahapan daur hidup perusahaan, maka perusahaan dapat bereaksi secara tepat dalam rangka mengantisipasi pengembangan atau perubahan yang diperlukan perusahaan. Quinn & Cameron (1983), seperti yang dikutip oleh Stepanyan (2012). Dengan demikian, Desruptive Theory menambah satu keputusan penting yang harus dipertimbangkan perusahaan, khususnya bagi perusahaan yang telah berada pada tahapan kedawasaan, jika tidak ingin masuk dalam tahap akhir, decline phase yang kemudian menjadi tidak eksis lagi.

GENERASI MILENIAL
“Generasi Milenial adalah generasi yang terlahir dalam kisaran 1980-2000, sebagian generasi Y (lahir tahun 1980) dan sebagian generasi Z (lahir tahun 2000). Generasi ini dikenal sebegai generasi yang ’bergaul erat’ dengan teknologi komunikasi dan informasi, yaitu: melalui internet berselancar di dunia maya dalam meperoleh informasi dan berkomunikasi melalui sosial media. Perbedaan mencolok dengan generasi sebulumnya ditunjukkan dalam pola berbelanja. Generasi pendahulunya memerlukan keyakinan yang tinggi terlebih dahulu akan keadaan barang yang dibelinya, sehingga mengharuskan dirinya untuk memeriksa kondisi rill barang tersebut dilapangan sebelum memutuskan untuk membelinya. Sementara generasi Y maupun Z sudah bisa mempercayai kondisi barang yang akan dibelinya dengan hanya melihatnya melalui internet demikian pula dengan sumber informasinya, baik informasi yang paling umum hingga yang berisfat ilmiah, semuanya dilakukan dengan searching di internet. Padahal generasi sebelumnya memperoleh informasi dari berbagai sumber, seperti: membaca media cetak untuk memperoleh ‘opini’, melihat televisi untuk memperoleh berita terkini, mendengarkan radio untuk informasi sehubungan dengan iklan, bahkan mengunjungi perpustakaaan untuk memperoleh bahan bacaan ilmiah.
Sehubungan dengan pekerjaan yang sesuai bagi generasi milenial, dari budaya hidupnya sudah dapat diduga bahwa mereka akan memilih untuk bekerja lepas, yaitu tidak terikat waktu kerja dan tidak terikat peraturan-peraturan di perusahaan. Yang umum bagi generasi milenial adalah memiliki banyak koneksi, dapat mengembangkan keahlian yang bisa jadi merupakan kegemarannya, dapat membuat mereka bekerja kreatif. Kecenderungan bekerja lepas ini dapat dipredisksi dari adanya beberapa orang terntentu pada generasi sebelumnya  yang menunjukkan sifat seperti generasi milenial sekarang ini. Mereka memilih untuk memliki usaha sendiri sehingga dapat menerima pesanan langsung dari konsumen individu. Tapi, tidak sedikit yang mengerjakan pesanan dari perusahaan atau organisasi tertentu.
Semakin tingginya persaingan di era digital dan semakin meningkatnya tenaga kerja dari generasi milenial, maka pekerjaan-pekerjaan yang menuntut kreatifitas dan berbasis digital dapat diserahkan kepada mereka untuk dikerjakan di rumah atau di kafe atau di berbagai tempat tertentu lainnya yang diinginkan. Dengan berkolaborasi, perusahaan dapat memperoleh ide kreatif yang didatngkan dari luar perusahaan. Kerjasama seperti ini membuat perusahaan dapat lebih efisien namun juga menjadi lebih kreatif. Dengan demikian, pada masa mendatang perusahaan dapat tetap memiliki karyawan dari generasi sebelumnya yang bekerja di kantor dengan jam kantor seperti yang telah ditetapkan. Sementara, karyawan dari generasi milenial bekerja di luar kantor. Hanya saja, perusahaan perlu memfasilitasi agar tetap terjalin komunikasi diantara kedua generasi tersebut.

No comments:

Post a Comment

KONSEP DASAR TEKNOLOGI DAN TEKNOLOGI INFORMASI

Pengertian teknologi : teknologi adalah ilmu pengetahuan yang mempelajari tentang keterampilan dalam menciptakan alat, metode pengolahan,...